Langsung ke konten utama

#ParaPejuangLiterasi Jaladara


Selama November ini, setiap minggu akan ada postingan wawancara dengan para pejuang literasi. Kenapa aku menyebutnya para pejuang literasi? Meski hanya berkenalan di dunia maya, aku bisa melihat wujud nyata yang mereka lakukan untuk dunia literasi dengan niat tulus dan ikhlas.
Yang pertama, aku akan mewawancarai Mbak Jaladara -nama pena-. Kenapa aku tertarik dengan beliau? Meski seumuran denganku, tapi prestasi yang sudah dilakukannya bikin aku minder. #AkuMahHanyaRemahanBiskuit

Di umurnya sekarang, Mbak Jaladara ini tidak hanya menanam benih, tapi juga telah banyak menaburkan kebaikan tidak hanya untuk lingkungan sekitar, tapi juga desanya dengan program #anakpetanicerdas. Kalau kita cek TL facebooknya, tiap hari bakal diisi postingan-postingan kegiatannya yang luar biasa seabrek-abrek. Sebenarnya bidang yang dia geluti untuk desanya ini tidak hanya berpusat di dunia literasi, tapi juga dunia pendidikan, dunia kesehatan, bahkan dunia ekonomi. Salut banget. Maka dari itu, aku akan membagikan pengalamannya agar nantinya bisa kita contoh dan teladani.

Berikut hasil wawancara aku bersama Mbak Jaladara:

1.       Sebagai pembukaan, bisa memperkenalkan diri dan sedikit cerita keseharian yang berhubungan dengan dunia literasi?
Nama pena saya Jaladara. Sehari-hari saya berkecimpung dalam berbagai program komunitas seperti Gerakan #anakpetanicerdas. Yakni sebuah gerakan yang bertujuan untuk mencerdaskan anak-anak petani di pelosok-pelosok kampung melalui pendampingan belajar, edukasi baca-tulis dan pemberian berbagai keterampilan. Dan tentunya pendidikan karakter.
Selain itu, setiap pekan kami berkeliling ke kampung dengan membawa buku-buku bacaan untuk anak-anak. Kami menamainya perupustakaan keliling. Program ini lahir karena sulitnya mereka mengakses buku-buku bacaan sehingga jika kami datangkan buku ke tengah-tengah mereka.
Kesibukan lainnya, kami mengajar disebuah boarding school rintisan di mana kami menciptakan lingkungan berbudaya baca dimana setiap anak memiliki “jurnal baca” masing-masing yang berisi catatan mengenai buku-buku yang pernah mereka baca disertai dengan resensinya.
Sederet langkah yang sudah saya lakukan rasanya tetap saja kurang. Untuk itu sampai saat ini saya masih sering mengiri training-training kepenulisan ke berbagai kampus, sekolah, komunitas baik di Jawa maupun Luar Pulau. Bukan hanya untuk para siswa dan mahasiswa namun juga untuk para guru-guru dipelosok. Harapannya mereka bisa membangun budaya literasi (baca-tulis) di sekolah dan lingkungannya.

2.       Sebagai pejuang literasi, hal apa yang menggerakkan hati pertama kali untuk terjun ke dunia literasi?
Sejak kecil memang saya suka membaca, namun benar-benar terjun ke dunia literasi itu dimulai sejak tahun 2005 saat saya bekerja dan kuliah di Hong Kong. Saat itu, saya melihat banyak tenaga kerja Indonesia yang tidak bisa mendapatkan haknya bahkan ada yang mendapatkan perlakuan buruk dilingkungan kerjanya akan tetapi mereka tidak mampu menyuarakan apa yang terjadi kepada mereka dan merekapun tak tahu bagaimana caranya. Nah kondisi inilah yang saya potret dan suarakan. Selain itu, berkaca kepada Negara-negara maju, budaya literasi di Negara mereka sangatlah baik dan maju pesat. Salah satunya ditandai dengan oplah cetakan surat kabar. Banyaknya penulis buku dan penjualan buku dinegara tersebut yang jumlahnya sampai berapa persen dari jumlah penduduknya.
Contohnya di Hong Kong. Pemerintah membangun perpustakaan –perpustakaan besar dan lengkap yang bisa dnegan mudah, nyaman dan gratis di akses oleh warganya. Dan bukan hanya akhir pekan, setiap harinya perpustakaan selalu penuh dengan para pengunjung. Coba lihat dinegara kita. Negara yang snagat besar dengan jumlah penduduk yang berapa puluh kali lipat dibandingkan  jumlah penduduk Hong Kong, punya berapa perpustakan? Berapa banyak buku yang diterbitkan setiap tahun? Berapa banyak majalah maupun Koran yang terjual setiap hari? Jumlahnya membuat saya miris!
Sayangnya kondisi ini terjadi di kota-kota besar yang notabene-nya lebih maju dan infrastruktur lebih lengkap. Apalagi di pelosok-pelosok kampung. di kampung saya, saat saya mendirikan perpustakaan di sana, itu menjadi perpustakaan pertama dikampung itu. Bahkan kecamatan pun tak punya perpustakaan.
Tak punya perpustakaan!
Untuk itulah saya terus berusaha menjadi solusi dari masalah ini dengan berbagai program yang kami rancang. Memang hanya langkah kecil, tapi semoga berdampak besar.

3.       Bisa ceritakan secara garis besar tujuan dari gerakan literasi yang diusung?
Tujuannya sangat sederhana. Mencerdaskan masyarakat dengan membudayakan baca-tulis. Karena seperti kita tahu; buku itu gudang ilmu dan membaca adalah kuncinya. Nah jika permasalahannya adalah tiadanya buku bacaan, maka kami bawakan buku-buku bacaan edukatif kepada mereka. Harapannya, tidak ada lagi warga yang buta aksara dan buta informasi. Saya tahu, kondisi warga kampung yang miskin belum memungkinkan bagi mereka untuk belajar dan mencari pengetahuan dengan berkeliling dunia, oleh sebab itu kami bawakan dunia dan seluruh pengetahuannya ke kampung-kampung mereka. Harapannya, masyarakat yang teredukasi seperti ini bisa lebih “aware” dengan pentingnya pendidikan dan sekolah karena dikampung-kampung masih banyak yang putus sekolah, apalagi anak-anak perempuan yang sebagian besar hanya sekolah sampai SD, bahkan ada yang tidak tamat SD lalu menikah.
Memang pekerjaan sederhana ini pada prakteknya tidaklah mudah. Apalagi mereka terbiasa dicekoki tontonan yang tidak mendidik dari televisi, jadi mereka awalnya kesulitan untuk “berubah” namun seiring konsistennya kami yang terus menerus mengajak mereka dengan berbagai cara, akhirnya ketertarikan kepada baca-tulispun mulai tumbuh. Dan setelah dua tahun ini, mereka bukan hanya suka membaca, namun GEMAR BACA. Satu hal lagi PR besar kami adalah membuat mereka perlahan bergerak dari budaya lisan menjadi budaya tulis. Karena seperti yang saya rasakan bahwa menulis itu banyak sekali manfaatnya. Nah mungkin manfaat-manfaat inilah yang belum warga ketahui, sehingga kami trus edukasi.
Seperti kita tahu, edukasi ini adalah proses yang maha panjang. Seperti halnya menanam, kita tidak bisa memanennya dihari yang sama!

4.       Bagaimana lingkungan menanggapi gerakan literasi yang dibangun? Apakah antusias dan mendukung gerakan ini?
Meski awalnya mereka kurang antusias karena belum menemukan “keasyikan” dan manfaat langsung yang dirasakan, namun lambat laun semuanya membaik sesuai harapan. Kini Gerakan edukasi untuk anak-anak petani dan program perpustakaan keliling ini sudah berjalan lebih dari 2 tahun. Bahkan dibeberapa kampung kami sudah dirikan perpustakaan yang dikelola oleh warga setempat. Dan saat ini gerakan ini sudah rutin dilaksanakn di 10 kampung. dan semoga jumlahnya terus bertambah.
Saat ini koleksi buku-buku kami diperpustakaan sudah lebih dari 15.000 buku. Jumlah yang menurut kami masih jauh dari cukup. Semoga semakin banyak yang peduli dan berkontribusi dalam gerakan ini.

5.       Hal apa saja yang sudah dilakukan dalam gerakan literasi ini?
Kegiatan rutin kami adalah kegiatan membaca dan menulis bagi #anakpetanicerdas yang saat ini jumlahnya lebih dari 800 anak. Selain itu, kami pun setiap pekan datang membawa buku-buku perpustakaan dan berkeliling ke kampung-kampung yang berbeda. Selain buku biasanya kami juga membawa berbagai permainan edukatif yang menarik.
Ada juga program Jelalah Kota dimana kami membawa anak-anak kampung ke beberapa tempat yang bersejarah dan “terkenal”. Mereka bisa belajar banyak hal dari kemajuan kota dan merekapun diajak untuk menuangkan pengalamannya dalam bentuk tulisan. Jadi semacam “Travel Writing”.
Selain itu ada juga program Safari Buku. Anak-anak kami ajak berkunjung ke perpustakaan lain yang lebih besar dan lengkap. Sehingga mereka bisa menemukan lebih banyak buku dan membaca buku-buku yang belum pernah mereka baca. Dan hal yang lebih penting, mereka bisa belajar berinteraksi dengan teman-teman baru dan belajar ditempat baru. Kami selalu menanamkan kepada mereka bahwa mereka bisa belajar kepada siapa saja, kapan saja dan dimana saja.
Anak-anakpun memiliki program Teman Baca, di mana mereka memilih satu buku untuk dibaca bersama kelompok kecilnya lalu mendiskusikannya.
Enam bulan sekali kami mengadakan “pesta” dalam program “Pekan Ceria Anak Petani Cerdas”. Kami mendatangkan para pendongeng yang bisa membawakan cerita dengan baik, menggelar berbagai permainan edukatif dan memberikan mereka banyak hadiah!

6.       Prestasi apa saja yang sudah diraih dalam gerakan literasi ini?
Saya rasa prestasi yang kami raih adalah saat semua anak kampung bisa membaca buku-buku edukatif dengan leluasa kapanpun mereka ingin mmebaca. Mereka bukan hanya suka membaca, melainkan GEMAR. Membaca yang dulunya kami “paksakan” kini mereka sering “memaksa” kami membawakan buku-buku baru. Satu anak bisa membaca lebih dari 5 buku dalam sepekan. Padahal dulu, satu buku dalam satu pekan saja sudah sulit!
Dan yang membuat kami merasa bangga adalah tidak ada lagi anak yang tidak naik kelas gara-gara belum bisa membaca atau menulis. Dulu banyak sekali anak yg tidak naik kelas. Bahkan ada yang sampai 3 tahun tidak naik kelas. Maklum, dikampung itu anak-anak langsung masuk SD. Tida ada PAUD maupun TK. Apalagi dirumahnya, orang tuanyapun buta aksara, jadi tidak ada yang bisa mengajari mereka.
Selain semua kebahagiaan itu, ada beberapa anak yang kami ikut sertakan dalam lomba kepenulisan. Dan mereka bisa menjadi juara! Contohnya lomba kepenulisan yang diselenggarakan oleh komunitas Penerjemah. Ada 3 anak yang berhasil menyabet juara 1-2-3 dengan hadiah jutaan!
Bagi kami, apalagi yang membahagiakan selain semua ini. Anak-anak yang rajin baca terbukti bisa lebih baik dan berprestasi disekolahnya. 

7.       Kendala apa saja yang dihadapai dalam gerakan literasi ini?
Awalnya kendalanya adalah “habit”. Kebiasaan masyarakat yang sudah lama terbentuk. Katanya yang baca buku itu hanya orang kaya saja. Lalu kami smapaikan bahwa kalau kamu ingin jadi orang kaya maka membacalah!
Gak salah kan? Meski tidak kaya secara materi, tapi kamu akan kaya ilmu dan pengetahuan. Kendala lainnya adalah minimnya buku-buku dan permainan edukatif yang kami miliki sehingga harus terus kami bawa bergilir ke kampung-kampung. jika saja lebih banyak yang peduli, pasti kondisinya akan berbeda.
Selain itu, kemampuan kami menjangkau ke kampung-kampungpun sangat terbatas. Saat ini baru di daerah Bogor saja. Itupun belum semuanya. Coba jika 1 orang peduli dan menjadi pahlawan literasi untuk 1 kampung, pasti pekerjaan kami akan lebih mudah.
Saya tahu banyak yang menumpuk bukunya di rumah dan hanya menjadikannya pajangan dilemari, padahal buku-buku itu akan lebih berguna dan bermanfaat jika dibawa ke tengah kampung dan biarkan warga membacanya. Sayangkan buku-buku itu hanya kamu baca sekali, padahal buku itu bisa dibaca hingga ratusan bahkan ribuan kali! So, Think Again!

8.       Bagaimana peran pemerintah dalam gerakan literasi ini?
Sampai hari ini, belum ada sedikit pun perhatian dari pemerintah setempat maupun pusat. Padahal kalau kita cermati, ini adalah tugas mereka. Mencerdaskan anak bangsa sesuai dengan amanah UUD 1945

9.       Pandangan mengenai minat baca di Indonesia
Masih sangat minim, apalagi sekarang dengan adanya media social dan program-program TV yang dibuat menarik. Masyarakat lebih memilih hal-hal yang sifatnya menghibur dibandingkan yang mendidik. Lihat saja jika kita di tempat-tempat umum dan di angkutan umum. Sebagian besar sibuk dengan gadgetnya atau sibuk mengobrol. Namun jika kita berada di Jepang, maka suasananya akan berbeda. Kita akan lebih banyak menemukan orang yang membaca apalagi di pagi hari.

10.   Apa harapan kedepannya dalam gerakan literasi ini?
Semoga apa yang kami lakukan bisa menjadi gerakan bersama dalam mencerdaskan bangsa ini. Stop menjadi generasi pencaci karena Negara ini tidak akan menjadi baik dengan cacianmu. Saatnya beraksi dan menjadi solusi.
Semoga kedepan disetiap kampung ada perpustakaan yang lengkap dan besar dan semua warga bisa mengaksesnya dengan gratis.
Semoga baca-tulis bisa menjadi bagian dari budaya generasi muda Indonesia. Dan tentunya pemerintah seyogyanya membuat kebijakan strategis yang merangsang tumbuhnya budaya tersebut. 

Berikut beberapa dokumentasi kegiatan Mbak Jaladara yang aku ambil dari TL album facebooknya:






 





Komentar

  1. follow balik mbak, chichariyan.blogspot.co.id, samasama warga metro.salam kenal

    BalasHapus
  2. wow, mbak jaladara ... inspiring, jadi inget KKN ...dulu kita juga membuat perpustakaan desa. Memang minat baca itu kurang baik, jika tidak ada yang dibaca ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

REVIEW Moon Lovers: Scarlet Heart Ryeo

  Sebenarnya gak antusias waktu tahu serial ini tayang. Pertama, setting cerita yang ala-ala kerajaan gitu biasanya bertele-tele. Kedua, pemain perempuannya banyak yang bilang nggak suka. Tapi semakin ke sini, makin banyak yang bilang suka drama ini dari segi cerita. 

REVIEW Extracurricular

  Awalnya gak niat nonton ama drama ini, ternyata banyak yang bilang bagus. Bukan sekedar kisah remaja dengan cerita menye-menye semata. Terlihat dari posternya yang terkesan dark, drama ini mengisahkan sisi kelam para remaja: prostitusi online.

REVIEW Welcome to Waikiki 2

Setelah nonton drama Welcome to Waikiki 1 yang super parah sengkleknya, rasanya kurang afdol jika nggak nonton seri yang kedua x))